Kala Pertanian Kalah Pamor oleh Tambang
Kala Pertanian Kalah Pamor oleh Tambang
Pertanian, perkebunan, dan perikanan adalah potensi
besar di Sulawesi Tengah yang saat ini kalah pamor oleh tambang. Untuk
pembangunan berkelanjutan, pemerintah diminta mengoptimalkan sektor ini.
RENY SRI AYU ARMAN
Senin (27/3/2023) siang itu matahari bersinar
sangat terik di kawasan hunian tetap atau huntap
Pombewe, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Di salah satu halaman
rumah, Nani Ritulai (48), Agustin (42), dan Sriyanti (41) sibuk mengurusi hasil panen kacang tanah.
Di bawah bangunan bertiang empat beratap seng
tanpa dinding, mereka berteduh dari teriknya matahari. Di hadapan mereka adalah
gunungan kacang tanah yang baru dipanen. Mereka melepas kacang dari akarnya.
Nantinya, kulit kacang akan dikelupas dan isinya dijual. Tanaman kacang ini
ditanam di halaman huntap, sebagian memanfaatkan lahan kosong di sekitar
permukiman tersebut.
”Buat tambah-tambah untuk beli beras. Sebelum di huntap, saya punya
kebun dan sudah terbiasa berkebun, tetapi sekarang sudah tidak bisa lagi. Kebun
dan rumah di Desa Jono Oge sudah terbawa likuefaksi. Saya juga sudah tidak
mungkin kembali ke sana karena sudah trauma dan sudah dilarang,” kata Nani.
Jika Nani hanya bisa berkebun, Agustin berbeda. Selain ikut menanam
kacang, dia juga membuka usaha menjahit. Keterampilan menjahit dia dapatkan
saat menjadi penyintas dan tinggal di hunian sementara atau huntara selama
lebih dua tahun.
Saat itu, sejumlah lembaga memberi bekal keterampilan kepada penyintas
untuk menjadi alternatif pendapatan. Banyak warga yang kehilangan pekerjaan pascagempa
dan tsunami yang melanda pada 2018 itu. Yang berkebun juga kehilangan kebun.
”Tapi di sini masih jarang yang datang meminta jasa menjahit. Mungkin
karena kami semua sama-sama baru memulai hidup baru dan masih sulit secara
ekonomi. Makanya, saya dan suami menanam kacang dan kerja serabutan untuk
menambah pemasukan,” kata Agustin.
Nani dan Agustin hanya dua dari banyak warga yang terpaksa kehilangan pekerjaan utama, yakni berkebun, pascagempa 2018. Sejumlah wilayah di Sigi, terutama yang terkena likuefaksi, kini tak lagi bisa ditempati. Padahal, di situlah warga awalnya berdiam dan mengolah lahan pertanian dan perkebunan.
Di pesisir Teluk Palu, banyak penyintas yang membangun kembali
rumah-rumah gubuk atau barak agar akses ke laut menjadi lebih dekat. Kawasan
huntap yang jauh dari laut membuat sebagian penyintas yang berprofesi sebagai
nelayan menjadi bingung.
”Biasa di laut dan huntap ada di gunung. Saya
juga bingung mau bikin apa di sana. Makanya, saya tetap melaut. Pondok ini
untuk tempat istirahat sementara saja sehabis melaut. Biasanya pulang ke huntap
juga,” kata Syaiful (52).
Sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan menjadi potensi besar di
Sulteng. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Pemerintah
Provinsi Sulteng memasukkan pertanian, perkebunan, dan perikanan dalam urutan
keempat dari empat program prioritas.
Berdasarkan data Pemprov Sulteng, terdapat
364.758 hektar lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta tanaman
pangan dan hortikultura. Adapun lahan sayuran seluas 45.717 hektar, buah-buahan
54.828 hektar, tanaman obat seluas 466 hektar, dan tanaman hias seluas 11 hektar.
Data Badan Pusat Statistik Sulteng ini bisa
jadi gambaran. Dalam beberapa tahun terakhir, luas tanam dan produksi padi
menurun. Poduksi padi dalam bentuk gabah kering giling di daerah ini pada tahun
2018 sebesar 926.978,66 ton. Tahun 2019, jumlahnya menurun menjadi 844.904,30
ton. Pada 2020, angkanya turun lagi menjadi 792.249,00 ton.
Hal ini sejalan dengan luas panen padi yang juga berkurang. Sebagai
gambaran, pada 2018, luasnya 201.279,24 hektar, lalu turun menjadi 186.100,44
hektar pada 2019, dan menjadi 178.067,00 hektar pada 2020.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Sulteng Christina Shandra Tobondo mengatakan, sejauh ini kontribusi
pertambangan terhadap pertumbuhan ekonomi memang cukup tinggi. Industri yang
berbasis bahan tambang menyumbang 8,64 persen poin pada pertumbuhan ekonomi
yang angkanya 15,17 persen atau lebih dari separuh.
Walau demikian, Christina mengakui, tambang rawan konflik sosial dan persoalan lingkungan. ”Makanya, kami sudah memikirkan untuk mengembangkan potensi pertanian dan perkebunan,” ujarnya. Menurut dia, pertanian dan perkebunan juga menjadi penyumbang signifikan pertumbuhan ekonomi. Penduduk yang bekerja di sektor pertanian juga cukup tinggi, yaitu 43,47 persen. ”Yang akan kami dorong bukan sekadar produksi, melainkanjuga industri berbasis pertanian. Apalagi, Sulteng menjadi mitra strategis Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara,” katanya.
Dia mengatakan, strategi yang akan dilakukan
adalah mengembangkan wilayah-wilayah yang potensi pertaniannya cukup tinggi.
Kawasan ini akan didorong untuk menjadi kawasan pangan Nusantara dan ikut
menyokong IKN. Kawasan ini di antaranya ada di Donggala, Parigi Moutong, Sigi,
hingga Banggai. Beberapa kawasan berjarak cukup dekat dengan IKN karena hanya
dipisahkan Selat Makassar.
Wakil Gubenrur Sulteng Ma’mun Amir juga mengakui, dalam jangka panjang, sebenarnya sektor pertanian dan perkebunan bisa diandalkan untuk menopang ekonomi. Terlebih, tambang sifatnya akan habis jika terus menerus dieksploitasi. ”Saat ini tambang banyak peluang untuk pertumbuhan, tetapi bukan untuk jangka panjang karena depositnya akan habis. Yang paling stabil adalah bidang pertanian dan perkebunan. Ini menjadi solusi yang terbaik. Tak banyak risiko dan tangguh di tengah resesi. Sektor ini juga stabil dan tak terpengaruh impor,” katanya.
Dia mengakui, masifnya tambang tak lepas dari
kebijakan pemerintah pusat. Sebagian besar izin tambang keluar di pusat,
selebihnya soal izin di wilayah kabupaten dan kota. Masifnya tambang juga
diakui tak terlalu signifikan berpengaruh pada serapan tenaga kerja karena
banyak perusahaan yang masih menggunakan tenaga kerja dari luar Sulteng.
Akademisi Universitas Tadulako, Ahlis Djirimu, mengatakan, maraknya
aktivitas pertambangan bukan hanya berpotensi menimbulkan konflik sosial dan
lingkungan, melainkan juga membuat pertanian ditinggalkan. Selain itu, tambang
bisa meruntuhkan pranata sosial.
”Tambang ini mengubah paradigma di
masyarakat. Yang tadinya berorientasi pertanian dan perkebunan berubah menjadi
pasir, batu, nikel. Sebagai contoh, di Kecamatan Ulujadi, Donggala. Dulu
budidaya perkebunan jangka pendek seperti janggelan dan mangga golek masih ada.
Tetapi sekarang sudah dilibas oleh pasir dan batu. Perubahan paradigma ini membuat
masyarakat lupa bahwa dampaknya bisa menyebabkan runtuhnya pranata sosial,”
katanya.
Di Morowali juga demikian. Masyarakat yang tadinya bertani atau jadi
nelayan kini memilih bekerja di tambang. Padahal, rata-rata masa kerja atau
bertahan mereka di tambang paling lama sepuluh tahun
”Saat mereka berkerja di tambang, kebun dan
sawah ditinggalkan. Yang mereka ingat di tambang setiap minggu gajian. Saat
berhenti bekerja atau tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan, lahan pertanian
sudah telantar dan mereka malas kembali berkebun karena sudah tak terbiasa. Ini
yang harusnya dipikirkan oleh pemerintah, bagaimana antisipasinya,” katanya.
Menurut Ahlis, HUT Ke-59 ini mestinya jadi momentum bagi Pemprov Sulteng
untuk mengubah paradigma pembangunan dari sekadar mengejar angka-angka
pertumbuhan ke pembangunan berkelanjutan. Pertanian, perkebunan, dan perikanan
mestinya didorong dan melibatkan lebih banyak peran masyarakat. Pengurangan
kemiskinan juga bisa dipercepat dengan berbagai program, baik berupa bantuan
tunai maupun program padat karya.

Post a Comment for " Kala Pertanian Kalah Pamor oleh Tambang"